JAM

Friday 3 April 2015

Sejarah Singkat dan Peerkembangan Bantuan hukum Indonesia



Sejarah singkat dan Perkembangan Bantuan Hukum Indonesia            
Pembicaraan mengenai Lembaga Bantuan Hukum Indonesia maka dalam benak kita teringat akan sosok Adnan Buyung Nasution. Nama Adnan Buyung Nasution tidak dapat dilepaskan dari Lembaga Bantuan Hukum (selanjutnya akan disebut LBH), umumnya orang akan mengidentikkan LBH dengan Adnan Buyung Nasution. Memang seperti kita ketahui bahwa gagasan pendirian bantuan hukum di Indonesia adalah gagasan dari Adnan Buyung Nasution yang saat itu menginginkan adanya pemberian bantuan hukum secara cuma-cuma terhadap mereka yang tidak mampu secara ekonomi untuk membayar pengacara dalam hal untuk membantu mereka dalam penyelesaian masalah hukum yang dihadapai bahkan mereka tidak mengerti akan hak-hak mereka untuk memperoleh bantuan hukum.
Dalam prakteknya sebagai Jaksa di pengadilan-pengadilan, Buyung Nasution merasakan begitu lemahnya posisi terdakwa yang harus dihadapkan ke persidangan. Buyung tergerak hatinya melihat kesengsaraan dan keterbelakangan masyarakat yang buta hukum. Mereka tidak tahu akan hak-hak mereka, kemiskinan ekonomi membuat mereka tak mampu berbuat apa-apa, termasuk membayar pengacara untuk mendapatkan bantuan hukum. Ada konflik batin pada diri Adnan Buyung Nasution untuk menolong orang kecil yang buta huruf, buta hukum, tidak mampu, dengan memberikan bantuan hukum cuma-cuma.
Lembaga Bantuan Hukum atau yang sekarang dikenal dengan nama Yayasan Lembaga bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) pada awalnya merupakan gagasan Adnan Buyung Nasution, yang ketika itu tergabung dalam PERADIN, akibat ketidakpuasan terhadap situasi sosial politik yang dengan mengesampingkan norma-norma hukum yang ada seringkali merugikan rakyat.
Dari ide untuk melindungi masyarakat dari penindasan hukum yang sering kali menimpa mereka, membantu mereka yang awam hukum yang seringkali tertindas oleh hukum yang ada karena ketidaktahuan mereka akan hak-haknya dan hukumnya maka gagasan tersebut diusulkan pada PERADIN untuk mendirikan suatu lembaga yang memberikan bantuan hukum secara prodeo. Maka pada tanggal 28 Oktober 1970 PERADIN membentuk lembaga bantuan hukum yang sekarang dikenal dengan nama Lembaga Bantuan Hukum (LBH) di Jakarta dan Adnan Buyung Nasution sebagai pimpinannya. Dengan segala keterbatasan yang ada baik pada segi keuangan untuk tetap mempertahankan berdirinya LBH, banyak pihak yang meragukan bahwa LBH tidak akan lama bertahan. Ternyata pendirian LBH di Jakarta diikuti oleh pendirian bantuan hukum di daerah-daerah Indonesia lainnya, seperti Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Medan, Ujung Pandang, Menado, Palembang dan Jaya pura. Pendirian LBH-LBH tersebut kemudian disentralisasikan dengan mendirikan yayasan, dikenal dengan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI).
Dalam Anggaran Dasar LBH disebutkan bahwa tujuan LBH adalah:
1. memberi pelayanan hukum pada rakyat miskin
2. mengembangkan dan meningkatkan kesadaran hukum rakyat, terutama mengenai hak-haknya sebagai subjek hukum
3. mengusahakan perubahan dan perbaikan hukum untuk mengisi kebutuhan baru dari masyarakat yang sedang berkembang.
Tujuan LBH dalam memberikan bantuan pada rakyat miskin, sering dipresepsikan sebagai belas kasihan terhadap rakyat miskin, bukan sebagai Hak Asasi Manusia (selanjutnya akan disebut HAM) untuk mendapatkan dan diperlakukan sama dihadapan hukum dalam hal ini adalah perlakuan yang sama terhadap mereka untuk diberi kesempatan membela dirinya, untuk mendapatkan informasi mengenai ketidaktahuan mereka terhadap hukum, untuk menyampaikan keluhan dan untuk mendapatkan hak-haknya.
LBH dalam kegiatannya yang mendukung kalangan rakyat yang tertindas ini bisa kita lihat pada peristiwa-peristiwa yang pernah ditangani oleh LBH diantaranya adalah pada tahun 1971, LBH bersedia mewakili kurang lebih lima ratus keluarga yang berasal dari daerah Lubang Buaya (Jakarta Timur) yang tergusur oleh Pemda DKI  Jakarta karena lahan mereka akan digunakan untuk membangun Taman Mini Indonesia Indah  Saat itu LBH menentang Gubernur Jakarta yang pada saat itu dijabat oleh Ali Sadikin, yang membuktikan bahwa LBH adalah lembaga yang mandiri, walaupun saat itu LBH mendapatkan subsidi dari Pemda DKI. Pembelaan LBH pada mereka yang diadili karena  melakukan demonstrasi besar-besaran zaman pemerintahan Soeharto menentang penanaman modal Jepang. Pembelaaan terhadapa mahasiswa yang mengeritik pemerintah pada tahun 1979, sampai pada pembelaan LBH terhadap pembrendelan tiga media masa yaitu Tempo, Editor dan DeTik termasuk pembelaannya pada Sri Bintang Pamungkas yang dituduh berunjuk rasa pada Presiden Soeharto saat itu.
Dalam perkembangannya, kegiatan LBH tersebut adalah karena perhatian LBH yang lebih dititikberatkan pada bantuan hukum yang berdimensi kerakyatan yang disebut sebagai bantuan hukum struktural, tidak hanya bantuan hukum untuk perorangan tetapi juga bagi masyarakat kolektif.
Melalui kegiatan bantuan hukum stuktural ini, LBH diharapkan akan dapat lebih berperan dalam pelaksanaan pembangunan di negara kita walaupun konsep tentang bantuan hukum sturuktural itu sendiri masih tetap diperbincangkan. Adnan Buyung Nasution mengartikan bantuan hukum struktural sebagai rangkaian progaram baik melalui jalan hukum maupun jalan halal lainnya yang diarahkan bagi perubahan pola hubungan yang menjadi dasar kehidupan sosial menuju pola hubungan yang lebih sejajar. Hal ini menurut pendapatnya adalah merupakan prasyarat bagi pengembangn hukum yang memberikan keadilan bagi mayoritas kaum miskin di Indonesia. Ini berarti Konsep bantuan hukum struktural dikembangkan dalam konteks pembangunan masyarakat adil dan makmur.
Dari hal tersebut konsep dari bantuan hukum menjadi semakin luas, bukan hanya membantu menyelesaikan permasalahan hukum terhadap mereka yang menghadapi kesulitan hukum tetapi juga bagaimana memberikan pemahaman pada masyarakat untuk mengerti hukum, mengkritisi produk hukum sampai dengan pemberian pendidikan hukum pada masyarakat sudah menjadi lembaga sosial yang membantu kelompok-kelompok yang terpinggirkan oleh suatu kebijakan pemerintah yang dirasakan justru sangat meminggirkan mereka yang berada dikalangan bawah yang sulit sekali didengar suaranya.
Pelaksanaan bantuan hukum dibedakan menjadi bantuan hukum individual dan bantuan hukum struktural. Bantuan hukum yang individual lebih ditekankan pada pendampingan terhadap masyarakat dalam menyelesaikan masalahnya melalui proses hukum sehingga proses tersebut berjalan baik tanpa ada diskriminasi. Sedangkan bantuan hukum struktural lebih menekankan kegiatannya pada pemberdayaan dan penyadaran masyarakat akan hukum agar meraka dapat memperjuangkan hak-haknya yang dilanggar dengan cara-cara tertentu.
Menurut T. Mulya Lubis menyebutkan ada tujuh ciri dari apa yang disebut bantuan hukum struktural yang secara singkat dapat disebutkan sebagai berikut:
1. sifat bantuan hukum haruslah struktural, artinya bantuan hukum haruslah sepenuhnya memihak pada pinggiran dalam menghadapi pusat. Bantuan hukum struktural haruslah mengutamakan bantuan kepada kelompok, bukan lagi pada perorangan
2. sistem hukum kita juga harus diubah dalam arti aksi-aksi hukum kelompok atau aksi-aksi hukum struktural harus mulai dimungkinkan
3. sifat bantuan hukum kita haruslah menjadi pedesaan disamping tetap berurusan dengan kota. Bantuan hukum harus lebih banyak di pedesaan di pinggiran, karena memang lapisan tertindas itu lebih banyak di pinggiran
4. sifat banatuan hukum haruslah aktif. Bantuan hukum bukan lagi rumah sakit yang menunggu, tetapi haruslah bantuan hukum yang berjalan dari suatu tempat ke tempat lain di kota dan di desa
5. bantuan hukum harus mulai mendayagunakan pendekatan-pendekatan diluar hukum atau bukan hukum:external approach
6. bantuan hukum harus mulai membuka diri terhadap organisasi-organisasi yang bukan badan hukum
7. bantuan hukum untuk bisa efektif haruslah menjadi suatu gerakan sosial yang bertujuan tidak saja pada konsentrasi sosial, politik, ekonomi dan budaya tetapi justru harus menciptakan power resource untuk menghadapi pusat.
Pemberian bantuan hukum terhadap pencari keadilan yang tertindas oleh adanya diskriminasi hukum terhadap mereka yang ketidaktahuannya akan hak-haknya dalam menghadapi persoalan hukum lebih ditingkatkan dan memperluas kegiatannya yang diarahkan pada mendukung pembangunan hukum yang nasional.
Pelaksanaan bantuan hukum kepada masyarakat tidak hanya sebatas memenuhi kebutuhan masyarakat akan pendampingan advokat dalam setiap proses hukum melainkan lebih jauh dari hal itu yaitu bagaimana menjadikan masyarakat mengerti hukum dan dapat mengkritisi produk hukum yang ada.

No comments:

Post a Comment

CERITA KISAH NYATA

“ TERUSLAH MELAKUKAN KEBAIKAN “ Ada seorang teman baikku menuturkan kisahnya. Dia bernama Rudi. Sore itu ia menemani ister...