Sejarah singkat dan
Perkembangan Bantuan Hukum Indonesia
Pembicaraan mengenai Lembaga Bantuan Hukum
Indonesia maka dalam benak kita teringat akan sosok Adnan Buyung Nasution. Nama
Adnan Buyung Nasution tidak dapat dilepaskan dari Lembaga Bantuan Hukum
(selanjutnya akan disebut LBH), umumnya orang akan mengidentikkan LBH dengan
Adnan Buyung Nasution. Memang seperti kita ketahui bahwa gagasan pendirian
bantuan hukum di Indonesia adalah gagasan dari Adnan Buyung Nasution yang saat
itu menginginkan adanya pemberian bantuan hukum secara cuma-cuma terhadap
mereka yang tidak mampu secara ekonomi untuk membayar pengacara dalam hal untuk
membantu mereka dalam penyelesaian masalah hukum yang dihadapai bahkan mereka
tidak mengerti akan hak-hak mereka untuk memperoleh bantuan hukum.
Dalam prakteknya sebagai Jaksa di
pengadilan-pengadilan, Buyung Nasution merasakan begitu lemahnya posisi
terdakwa yang harus dihadapkan ke persidangan. Buyung tergerak hatinya melihat
kesengsaraan dan keterbelakangan masyarakat yang buta hukum. Mereka tidak tahu
akan hak-hak mereka, kemiskinan ekonomi membuat mereka tak mampu berbuat
apa-apa, termasuk membayar pengacara untuk mendapatkan bantuan hukum. Ada
konflik batin pada diri Adnan Buyung Nasution untuk menolong orang kecil yang
buta huruf, buta hukum, tidak mampu, dengan memberikan bantuan hukum cuma-cuma.
Lembaga Bantuan Hukum atau yang sekarang dikenal
dengan nama Yayasan Lembaga bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) pada awalnya
merupakan gagasan Adnan Buyung Nasution, yang ketika itu tergabung dalam
PERADIN, akibat ketidakpuasan terhadap situasi sosial politik yang dengan
mengesampingkan norma-norma hukum yang ada seringkali merugikan rakyat.
Dari ide untuk melindungi masyarakat dari
penindasan hukum yang sering kali menimpa mereka, membantu mereka yang awam
hukum yang seringkali tertindas oleh hukum yang ada karena ketidaktahuan mereka
akan hak-haknya dan hukumnya maka gagasan tersebut diusulkan pada PERADIN untuk
mendirikan suatu lembaga yang memberikan bantuan hukum secara prodeo.
Maka pada tanggal 28 Oktober 1970 PERADIN membentuk lembaga bantuan hukum yang
sekarang dikenal dengan nama Lembaga Bantuan Hukum (LBH) di Jakarta dan Adnan
Buyung Nasution sebagai pimpinannya. Dengan segala keterbatasan yang ada baik
pada segi keuangan untuk tetap mempertahankan berdirinya LBH, banyak pihak yang
meragukan bahwa LBH tidak akan lama bertahan. Ternyata pendirian LBH di Jakarta
diikuti oleh pendirian bantuan hukum di daerah-daerah Indonesia lainnya,
seperti Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Medan, Ujung Pandang, Menado,
Palembang dan Jaya pura. Pendirian LBH-LBH tersebut kemudian disentralisasikan
dengan mendirikan yayasan, dikenal dengan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum
Indonesia (YLBHI).
Dalam Anggaran Dasar LBH disebutkan bahwa tujuan
LBH adalah:
1. memberi pelayanan hukum pada rakyat miskin
2. mengembangkan dan meningkatkan kesadaran hukum
rakyat, terutama mengenai hak-haknya sebagai subjek hukum
3. mengusahakan perubahan dan perbaikan hukum
untuk mengisi kebutuhan baru dari masyarakat yang sedang berkembang.
Tujuan LBH dalam memberikan bantuan pada rakyat
miskin, sering dipresepsikan sebagai belas kasihan terhadap rakyat miskin,
bukan sebagai Hak Asasi Manusia (selanjutnya akan disebut HAM) untuk
mendapatkan dan diperlakukan sama dihadapan hukum dalam hal ini adalah
perlakuan yang sama terhadap mereka untuk diberi kesempatan membela dirinya,
untuk mendapatkan informasi mengenai ketidaktahuan mereka terhadap hukum, untuk
menyampaikan keluhan dan untuk mendapatkan hak-haknya.
LBH dalam kegiatannya yang mendukung kalangan
rakyat yang tertindas ini bisa kita lihat pada peristiwa-peristiwa yang pernah
ditangani oleh LBH diantaranya adalah pada tahun 1971, LBH bersedia mewakili
kurang lebih lima ratus keluarga yang berasal dari daerah Lubang Buaya (Jakarta
Timur) yang tergusur oleh Pemda DKI Jakarta karena lahan mereka akan
digunakan untuk membangun Taman Mini Indonesia Indah Saat itu LBH menentang
Gubernur Jakarta yang pada saat itu dijabat oleh Ali Sadikin, yang membuktikan
bahwa LBH adalah lembaga yang mandiri, walaupun saat itu LBH mendapatkan
subsidi dari Pemda DKI. Pembelaan LBH pada mereka yang diadili karena
melakukan demonstrasi besar-besaran zaman pemerintahan Soeharto menentang
penanaman modal Jepang. Pembelaaan terhadapa mahasiswa yang mengeritik
pemerintah pada tahun 1979, sampai pada pembelaan LBH terhadap pembrendelan
tiga media masa yaitu Tempo, Editor dan DeTik termasuk pembelaannya pada Sri
Bintang Pamungkas yang dituduh berunjuk rasa pada Presiden Soeharto saat itu.
Dalam perkembangannya, kegiatan LBH tersebut
adalah karena perhatian LBH yang lebih dititikberatkan pada bantuan hukum yang
berdimensi kerakyatan yang disebut sebagai bantuan hukum struktural, tidak
hanya bantuan hukum untuk perorangan tetapi juga bagi masyarakat kolektif.
Melalui kegiatan bantuan hukum stuktural ini, LBH
diharapkan akan dapat lebih berperan dalam pelaksanaan pembangunan di negara
kita walaupun konsep tentang bantuan hukum sturuktural itu sendiri masih tetap
diperbincangkan. Adnan Buyung Nasution mengartikan bantuan hukum struktural
sebagai rangkaian progaram baik melalui jalan hukum maupun jalan halal lainnya
yang diarahkan bagi perubahan pola hubungan yang menjadi dasar kehidupan sosial
menuju pola hubungan yang lebih sejajar. Hal ini menurut pendapatnya adalah
merupakan prasyarat bagi pengembangn hukum yang memberikan keadilan bagi
mayoritas kaum miskin di Indonesia. Ini berarti Konsep bantuan hukum struktural
dikembangkan dalam konteks pembangunan masyarakat adil dan makmur.
Dari hal tersebut konsep dari bantuan hukum
menjadi semakin luas, bukan hanya membantu menyelesaikan permasalahan hukum
terhadap mereka yang menghadapi kesulitan hukum tetapi juga bagaimana
memberikan pemahaman pada masyarakat untuk mengerti hukum, mengkritisi produk
hukum sampai dengan pemberian pendidikan hukum pada masyarakat sudah menjadi
lembaga sosial yang membantu kelompok-kelompok yang terpinggirkan oleh suatu
kebijakan pemerintah yang dirasakan justru sangat meminggirkan mereka yang
berada dikalangan bawah yang sulit sekali didengar suaranya.
Pelaksanaan bantuan hukum dibedakan menjadi
bantuan hukum individual dan bantuan hukum struktural. Bantuan hukum yang
individual lebih ditekankan pada pendampingan terhadap masyarakat dalam
menyelesaikan masalahnya melalui proses hukum sehingga proses tersebut berjalan
baik tanpa ada diskriminasi. Sedangkan bantuan hukum struktural lebih
menekankan kegiatannya pada pemberdayaan dan penyadaran masyarakat akan hukum
agar meraka dapat memperjuangkan hak-haknya yang dilanggar dengan cara-cara
tertentu.
Menurut T. Mulya Lubis menyebutkan ada tujuh ciri
dari apa yang disebut bantuan hukum struktural yang secara singkat dapat
disebutkan sebagai berikut:
1. sifat bantuan hukum haruslah struktural,
artinya bantuan hukum haruslah sepenuhnya memihak pada pinggiran dalam
menghadapi pusat. Bantuan hukum struktural haruslah mengutamakan bantuan kepada
kelompok, bukan lagi pada perorangan
2. sistem hukum kita juga harus diubah dalam arti
aksi-aksi hukum kelompok atau aksi-aksi hukum struktural harus mulai
dimungkinkan
3. sifat bantuan hukum kita haruslah menjadi
pedesaan disamping tetap berurusan dengan kota. Bantuan hukum harus lebih
banyak di pedesaan di pinggiran, karena memang lapisan tertindas itu lebih
banyak di pinggiran
4. sifat banatuan hukum haruslah aktif. Bantuan
hukum bukan lagi rumah sakit yang menunggu, tetapi haruslah bantuan hukum yang
berjalan dari suatu tempat ke tempat lain di kota dan di desa
5. bantuan hukum harus mulai mendayagunakan
pendekatan-pendekatan diluar hukum atau bukan hukum:external approach
6. bantuan hukum harus mulai membuka diri
terhadap organisasi-organisasi yang bukan badan hukum
7. bantuan hukum untuk bisa efektif haruslah
menjadi suatu gerakan sosial yang bertujuan tidak saja pada konsentrasi sosial,
politik, ekonomi dan budaya tetapi justru harus menciptakan power resource
untuk menghadapi pusat.
Pemberian bantuan hukum terhadap pencari keadilan
yang tertindas oleh adanya diskriminasi hukum terhadap mereka yang
ketidaktahuannya akan hak-haknya dalam menghadapi persoalan hukum lebih
ditingkatkan dan memperluas kegiatannya yang diarahkan pada mendukung
pembangunan hukum yang nasional.
Pelaksanaan bantuan hukum kepada masyarakat tidak
hanya sebatas memenuhi kebutuhan masyarakat akan pendampingan advokat dalam
setiap proses hukum melainkan lebih jauh dari hal itu yaitu bagaimana
menjadikan masyarakat mengerti hukum dan dapat mengkritisi produk hukum yang
ada.
No comments:
Post a Comment